Minggu, 06 Juni 2010

Adab dan Akhlak Dalam Kesempurnaan Islam

Penulis: Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi



Adab dan akhlak dalam pandangan agama memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia. Juga di hadapan Allah dan Rasul-Nya bahkan di hadapan seluruh makhluk. Namun banyak orang mengentengkan masalah ini dan menjadikannya seakan-akan bagian luar dan jauh dari agama. Sesungguhnya tidak demikian.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sesungguhnya kamu berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)



Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Maknanya adalah, engkau berada di atas tabiat yang mulia.” Kata Al-Mawardi: “Ini makna yang nampak.” (Fathul Qadir hal. 1774). Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Maknanya adalah bahwa pengamalan Al Qur’an, perintah dan larangannya telah menjadi tabiat dan akhlak beliau dan beliau meninggalkan tabiat bawaan, sehingga apapun yang Al Qur’an perintahkan maka beliau melaksanakannya dan apapun yang dilarangan beliau meninggalkan hal tersebut. Berikut hal-hal yang telah diberikan oleh Allah dari akhlak yang agung seperti sifat malu, dermawan, pemberani, pemaaf, lemah-lembut dan semua bentuk akhlak yang baik sebagaimana telah shahih dari Anas bin Malik Mutafaq ‘alaih: “Aku telah berkhidmat kepada Rasulullah selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah mengatakan ‘ah’ sama sekali dan tidak pernah bertanya jika aku melakukan sesuatu kenapa aku melakukannya dan pada sesuatu yang tidak aku lakukan, beliau tidak mengatakan kenapa kamu tidak melakukannya? Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik kelakuannya. Aku tidak pernah menyentuh sutra atau sesuatu pun yang lebih lembut dari tangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Aku pun tidak pernah mencium misk dan minyak wangi yang lebih wangi dari keringat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/485)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِيْ اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ “Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauh kan dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan musyawarahlah bersama mereka dalam urusan itu (dalam peperangan). kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkal-lah. Karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” ( Ali ’Imran: 159)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan: “Makna ayat ini adalah bahwa Rasulullah ketika bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang lari dari perang Uhud dan tidak memperlakukan mereka dengan kasar, Allah menjelaskan bahwa beliau bisa melakukan hal itu disebabkan taufik dari Allah.” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/160)
Ibnu Katsir mengatakan: Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Demikianlah akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus beliau dengannya.” Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma berkata: “Aku menjumpai sifat Rasulullah dalam kitab-kitab terdahulu bahwa beliau tidak berkata kasar, kotor, dan tidak pula berteriak-teriak di pasar, dan tidak membalas perbuatan jelek dengan kejelekan tetapi beliau sangat pemaaf.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/516)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Akhlak yang baik bila menyertai seorang pemimpin di dunia, akan menarik orang-orang untuk masuk ke dalam agama dan mendorong mereka untuk cinta kepadanya, dan tentu dia akan mendapatkan pujian dan pahala yang khusus. Apabila akhlak yang jelek menyertai seorang pemimpin dalam agama, hal ini menyebabkan orang-orang lari dari agama dan membenci agama tersebut. Bersamaan dengan itu pelakunya mendapatkan cercaan dan adzab yang khusus. Kalau Allah mengatakan demikian kepada Rasul-Nya, maka lebih-lebih kepada orang lain. Bukankah termasuk dari kewajiban yang wajib dan perkara yang sangat penting adalah mengikuti akhlak-akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallamdan bergaul bersama orang lain dengan cara meneladani pergaulan beliau berupa sifat kelemahlembutan, akhlak yang baik, dan penyayang dalam rangka melaksanakan perintah Allah dan menarik orang ke dalam agama Allah.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 121)

Demikian beberapa ayat yang menjelaskan kedudukan adab dan akhlak di dalam agama berikut ucapan beberapa ulama ahli tafsir. Adapun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terlalu banyak dan kita mencukupkan hadits dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Mu’adz bin Jabal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ “Bertakwalah kamu kepada Allah di mana saja kamu berada dan ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik niscaya perbuatan baik itu akan menghapus perbuatan jelek dan berakhlaklah kamu kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi dan selain beliau)1 Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah: “Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik dalam ucapan ataupun perbuatan, hal itu adalah sangat baik dan perintah ini bisa menunjukkan wajib atau menunjukkan sunnah dan bisa diambil faidah darinya yaitu disyariatkannya bergaul bersama manusia dengan perilaku yang baik, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membatasi bagaimana caranya bergaul dengan akhlak, karena penerapan akhlak yang baik itu berbeda sesuai dengan kondisi orang. Ada akhlak di sisi seseorang baik dan di sisi orang lain jelek dan setiap orang yang berakal mengerti dan menimbang hal itu.” (Lihat Ta’liqat ‘ala Arba’in, hal. 41) Begitu pula bila kita melihat kitab-kitab karya para ulama, kita akan menemukan pembahasan tentang adab dan akhlak baik dalam kitab khusus ataupun dalam pembahasan tersendiri, secara global maupun secara terperinci. Contohnya, Al-Imam Al-Bukhari di dalam kitab Shahih beliau menulis sebuah judul pembahasan Kitab Adab. Lebih khusus lagi beliau memiliki kitab Al-Adab Al-Mufrad. Al-Imam Muslim di dalam kitab Shahih beliau menulis sebuah bab Kitab Al-Birr wash Shilah wal Adab. Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah dalam Sunan-nya menulis pembahasan khusus yang terkait dengan adab berjudul Kitab Al-Adab. Al-Imam Ibnu Majah di dalam Sunan beliau menulis sebuah judul pembasan Kitab Adab. Al-Imam Al-Ajurri menulis sebuah kitab yang berjudul Akhlak Ulama, Ibnu Hazm memiliki karya berjudul Al-Akhlaq wa As-Sair fi Mudawaati An-Nufus, Badruddin Abu Ishaq Ibrahim memiliki karya berjudul Tadzkiratu As-Sami’ wa Mutakallim fi Adab Al-’Alim wa Al-Muta’allim. Dan masih banyak kitab ulama terdahulu yang memberikan perhatian tinggi terhadap permasalahan adab dan akhlak2 yang semua menunjukkan bahwa adab dan akhlak adalah perkara yang tidak bisa lepas dari agama. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti yang baik.” (HR. Ahmad dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)3 Begitu pun ulama di masa kini memberikan perhatian yang besar terhadap akhlak. Ini bisa dilihat pada karya-karya mereka seperti Asy-Syaikh Jamaluddin Al-Qashimi menulis sebuah kitab Jawami’ul Adab fi Akhlaq Al-Anjab, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz menulis risalah berjudul Al-Ilmu wa Akhlaq Ahlihi, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin memiliki risalah berjudul Makarimul Akhlaq, Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitab beliau Al-Jami’ush Shahih menulis kitab Al-Adab. Seorang Da’i dan Akhlak Da’i merupakan manzilah (kedudukan) yang tinggi di hadapan Allah. Untuk mendapatkan gelar tersebut, tentu dengan memperbaiki hubungan dengan Allah dan menggali agama-Nya.4 Kata da’i dalam bahasa syariat memiliki dua makna. Pertama, da’i yang berada di tepi neraka jahannam sebagaimana dalam hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu 'anhu yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan juga hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu dalam riwayat Al-Imam Ahmad, dan mafhum dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: ادْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah...”(An-Nahl :125) Kedua, da’i ilallah sebagaimana dalam ayat di atas. Adapun da’i ilallah, hendaknya menjadikan firman Allah di bawah ini sebagai perhiasan dalam langkahnya memikul amanat yang besar ini: لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجَو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا “Sungguh telah ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik bagi (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Al-Ahzab: 21) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: “Di dalam ayat ini terdapat cercaan bagi orang-orang yang tidak menyertai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam peperangan. Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, artinya bahwa Rasulullah telah mengorbankan diri untuk berperang dan keluar menuju Khandaq untuk membela agama Allah. Dan ayat ini walaupun sebabnya khusus namun yang dimaksud adalah umum dalam segala hal.” (Fathul Qadhir, hal. 1361) Ada beberapa perkara penting yang terkait dengan akhlak seorang alim dan da’i ilallah. Dibawakan oleh Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah di dalam kitab beliau Akhlaq Ulama (hal. 29): “Apabila Allah mengangkat seseorang di hadapan orang-orang yang beriman sebagai sosok yang berilmu dan sosok yang ilmunya dibutuhkan oleh setiap orang, maka ia berusaha menjadi orang yang tawadhu’ terhadap orang alim seperti dirinya atau orang di bawahnya. Adapun ketawadhu’annya terhadap orang yang sederajat dengannya muncul dalam bentuk rasa cinta kasih kepada mereka dan sangat berharap untuk dekat dengannya, dan bila orang tersebut tidak ada di sampingnya maka hati mereka selalu berkait dengannya.” Kemudian beliau mengatakan, termasuk dari sifat seorang alim (da’i ilallah) adalah tidak pernah mencari kedudukan di sisi para raja (penguasa) dan tidak menghinakan diri di hadapan mereka, menjaga ilmunya kecuali kepada pemiliknya, tidak pernah mengambil upah atas ilmunya, dan tidak pula dijadikan jembatan untuk terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Dia tidak mendekat kepada pemilik dunia dan menjauhi orang-orang fakir, bahkan dia menjauhi ahli dunia dan merendah diri di hadapan orang fakir dan orang shalih untuk menyampaikan ilmu kepada mereka. Kalau dia memiliki sebuah majelis ilmu maka dia berperilaku baik kepada setiap orang yang duduk di majelisnya, lemah-lembut kepada orang yang bertanya, dan senantiasa menampilkan akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang rendah. Dari uraian di atas maka jelas bahwa Islam dengan kesempurnaan dan keluasan cakupannya dalam bentuk aqidah, manhaj, ibadah, akhlak maka tidak boleh untuk dipisah-pisah dan kita dituntut untuk mengamalkan Islam sesempurna mungkin. Akhlak tidak bisa dipisahkan dari manhaj, aqidah, atau ibadah. Artinya, dalam bermanhaj, beraqidah, dan beribadah butuh kepada akhlak yang baik yang mencerminkan pembawa bendera ilmu Al Kitab dan As Sunnah di atas pemahaman As-Salafus Shalih.Wallahu a’lam. 1 Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 97 2 Seperti Al-Imam An-Nawawi di dalam Kitab Riyadhus Shalihin dan Al-Hafidz Ibnu Hajar menulis sebuah judul di dalam kitab Bulughul Maram Kitab Al-Jami’ bab Al-Adab, dsb. 3 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 45 4 Sebagaimana firman Allah: يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. (Al-Mujadilah: 11)
sumber: asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar