Kamis, 21 Oktober 2010

ADAB BERPAKAIAN & BERHIAS (iii) : Hukum Pakaian bersalib, bergambar, warna putih dan merah

ADAB BERPAKAIAN DAN BERHIAS

Penulis Al-Ustadz Abu Muawiyah

Di antara permasalahan yang dibahas dalam bab ini adalah:
6. Haramnya Memakai Pakaian Yang Ada Padanya tanda salib atau Gambar bernyawa.
7. Apakah sah shalat orang yang shalat dengan pakaian yang ada padanya gambar-gambar atau salib?
8. Beberapa Sunnah Dalam Memakai Sandal.
9. Sunnahnya Memakai Pakaian Putih.
10. Hukum memakai pakaian berwarna merah.
Penjelasan :


9. Haramnya Memakai Pakaian Yang Ada PadanyaShalban (SALIB) Atau Gambar :

Maksud kata Shalban adalah apa yang ada padanya gambar salib, dan maksud gambar disini adalah gambar bernyawa. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingkari Aisyah Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha ketika Aisyah membuatkan bantal yang bergambar sesuatu yang bernyawa untuk beliau.
Dari Al-Qasim dari Aisyah radhiallahu ‘anha : “Bahwa Aisyah membeli bantal yang ada padanya gambar-gambar, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di pintu dan tidak masuk, maka aku (Aisyah) berkata : “Saya bertaubat kepada Allah dari dosa yang kuperbuat.” Beliau berkata : “ Bantal apa ini?” Aisyah berkata : “Untuk engkau duduk di atasnya dan engkau jadikan bantal ”. Beliau berkata : “Sesungguhnya pembuat bantal ini akan diadzab di hari kiamat, dikatakan kepada mereka hidupkanlah oleh kalian apa yang telah kalian ciptakan, dan sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang ada padanya gambar”[1].
An-Nawawi mengatakan : “ Ulama berkata : sebab terhalangnya mereka (yaitu malaiakat) dari rumah yang ada padanya gambar karena keberadaannya adalah perbuatan maksiat yang keji, dan ada padanya penyamaan terhadap makhluk ciptaan Allah ta’ala, dan sebagian gambar tersebut adalah sesuatu yang disembah selain Allah ta’ala ”[2].
Dari Imran bin Haththan bahwa Aisyah radhiallahu ‘anha menceritakan kepadanya, beliau berkata : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan sesuatu pun di dalam rumah yang ada padanya salib kecuali beliau melepaskannya”[3]. Dan lafazh riwayat Ahmad : “ Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  meninggalkan pakaian yang bergambar salib dirumah eliau kecuali beliau melepaskannya “
Dari apa yang telah lalu menjadi jelaslah bagi kita dengan sejelas-jelasnya haramnya memakai pakaian yang ada padanya gambar yang bernyawa atau salib, dan barang siapa yang dicoba dengan salah satu dari perkara tersebut maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan agar menghapusnya dan merubah perilakunya. Kemudian apabila dia kehendaki dia dapat mempergunakannya dan mengambil memanfaatkannya, sebagaimana yang dilakukan Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata : ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari suatu perjalanan dan saya telah memasang tirai dengan kain tipis bergambar bernyawa milik saya pada bagian atas lubang angin rumah saya. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya beliau menyobeknya, dan beliau berkata : “ Manusia yang paling keras adzabnya di hari kiamat adalah orang-orang yang menyaingi ciptaan Allah “. Aisyah berkata : “ Maka kami menjadikan kain tersebut menjadi satu atau dua bantal”[4].
Masalah : Apakah sah shalat orang yang shalat dengan pakaian yang ada padanya gambar-gambar atau salib?
Jawaban : Al-Lajnah Ad-Daa`imah berkata di dalam salah satu fatwanya : tidak boleh seseorang shalat dengan memakai pakaian yang ada padanya gambar-gambar bernyawa apakah gambar manusia, burung, hewan-hewan ternak atau selainnya yang bernyawa, dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk memakainya pada selain shalat.  Namun seseorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada padanya gambar bernyawa, shalatnya sah, namun dia berdosa, jikalau mengetahui hukum syar’i ….(pada jawaban lain tentang memakai jam atau salib Al-Lajnah menyatakan : ) Tidak boleh memakai jam atau salib, tidak di dalam shalat tidak pula pada selainnya sampai salib itu dihilangkan apakah dengan mengeruknya atau dengan sesuatu yang menutupinya, akan tetapi apabila seseorang shalat dan jam tangan/salib itu ada padanya maka shalatnya shahih, dan wajib atasnya bersegera menghilangkan salib, karena hal itu bagian dari syi’ar Nashrani, dan tidak boleh bagi seorang muslim untuk menyerupai mereka[5].

10. Termasuk Perkara Sunnah Mendahulukan Bagian Yang Kanan Ketika Memakai Pakaian dan Yang Semisalnya :

Dalil amalan tersebut adalah hadirts Aisyah, Ummul mukminin radhiallahu ‘anha, beliau berkata : ” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai mendahulukan kanan di dalam bersuci, menyisir dan memakai sandal”. Pada lafazh Muslim : ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallammenyukai mendahulukan kanan di dalam bersendal, menyisir dan bersuci”[6].
An-Nawawi  berkata : “Ini adalah aturan baku didalam syariat, yaitu apabila suatu amalan tergolong sebagai penghormatan dan pemuliaan, seperti memakai pakaian, celana, sepatu, masuk masjid, siwak, bercelak, memotong kuku, memendekkan kumis, menyisir rambut, mencabut ketiak, mencukur rambut, salam di dalam shalat, mencuci anggota bersuci, keluar dari wc, makan dan minum, bersalaman, mecium hajar aswad, dan selain itu dari perkara yang termasuk dari makna tadi yang disunnahkan mendahulukan yang kanan, adapun perkara yang merupakan kebalikan dari yang telah disebutkan seperti masuk wc, keluar dari masjid, membuang ingus, al-istinja` – membersihkan dubur atau qubul setelah buang hajat -, melepas baju, celana dan sepatu, dan yang semisalnya yang disunnahkan mendahulukan bagian yang kiri padanya, dan semua itu disebabkan untuk memuliakan bagian yang kanan, wallahu a’lam[7].

11. Sunnah Dalam Memakai Sandal :

Disunnahkan seseorang memasukkan bagian yang kanan terlebih dahulu kemudian bagian yang kiri, dan ketika melepaskan kedua kaki bagian yang kiri terlebih dahulu kemudian yang kanan.
Sunnah itu disebutkan di dalam hadits Abu Hurairah radhilallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila salah seorang diantara kalian memakai sandal hendaknya dia memulai dengan yang kanan, dan apabila dia melepaskannya hendaknya dia mulai dengan yang kiri, hendaknya bagian yang kanan yang pertama yang dipakaikan sandal dan yang terakhir dilepas”[8].
Dan dimakruhkan bagi seorang muslim untuk berjalan dengan satu sandal Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila tali sandal salah seorang diantara kalian putus maka janganlah ia berjalan dengan memakai satu sandal sampai dia memperbaikinya”[9].
Dan dari beliau radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah salah seorang dari kalian berjalan dengan satu sandal hendaknya dia melepaskan keduanya atau memakai keduanya”[10].
Dan semua yang disebutkan agar diketahui hukumnya sebatas sunnah dan tidak sampai derajat wajib, maka barang siapa yang menghadapi suatu kejadian atau sandal atau sepatunya putus hendaknya dia berhenti sampai dia memperbaiki sandalnya atau melepas sandal yang satunya dan menyelesaikan perjalanannya. Tidak sepatutnya bagi seorang mukmin menyelisihi larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun hanya perkara yang makruh tidak sampai pada perkara yang haram.
Hendaknya seseorang itu membiasakan dirinya agar berada di atas petunjuk Nabi bagi secara zhahir maupun secara bathin, dan agar meraih kemulian ittiba’ yang hakiki.
Ketahuilah bahwa ulama menyebutkan beberapa sebab larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan dengan satu sandal. An-Nawawi berkata : “ Ulama berkata : Sebabnya karena hal itu perkara yang buruk dan hukuman serta menyelisihi kewibawaan, karena memakai satu sandal menjadikan yang satu menjadi lebih tinggi dari yang lainnya maka jalannya menjadi susah bahkan hal itu menjadi sebab seseorang tergelincir[11] dan selainnya.
Kemudian saya mendapati bahwa Syaikh Al-Albani rahimahullah membawakan di dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits yang diriwayatkan oleh At-Thahawi di dalam Musykil Al-Atsar : Dari hadits  Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Sesungguhnya syaithan berjalan dengan mengenakan satu sandal”[12]. Berpedoman dengan hadits ini akan menjadi jelas bagi kita sebab larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari berjalan di atas satu sandal, dan bahwa hal itu merupakan jalannya syaithan. Apabila hal itu telah shahih dalam syariat Islam cukuplah bagi kita dari segala upaya untuk menguak sebab dari larangan tersebut..
Faedah : termasuk perkara sunnah adalah bertelanjang kaki – kadang-kadang- yaitu berjalan dalam keadaan tidak memakai alas kaki.
Dari Abu Buraidah radhiallahu ‘anhu bahwa salah seorang dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan perjalanan mengunjungi Fudhalah bin Ubaid dan dia ada di Mesir. Lalu sahabat tadi tiba kepadanya dan berkata : “Adapun saya tidak datang ziarah kepadamu akan tetapi saya dan kamu saling mendengar satu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya harap ilmu ada padamu tentang hadits tersebut. Fudhalah berkata : Apakah itu? Sahabat tadi berkata : Begini dan begitu. Sahabat itu berkata : Mengapa saya melihat kamu dalam keadaan kusut sedangkan kamu adalah pemimpin suatu daerah ? Fudhalah berkata : sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami dari sering bermewah-mewah. Sahabat tadi berkata : Mengapa saya tidak melihat engkau memakai sepatu? Fudhalah berkata : adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami agar bertelanjang kaki sekali waktu”[13].

12. Apa Yang Diucapkan ketika Memakai Sesuatu Yang Baru :

Ada beberapa doa-doa yang disandarkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau ucapkan ketika memakai sesuatu yang baru diantaranya :
a. “Ya Allah milikmulah segala pujian engkaulah yang memakaikannya kepadaku, aku memohon kepadamu dari kebaikan benda ini dan kebaikan yang dia dibuat karenanya, dan aku berlindung kepadamu dari kejelekan benda ini dan kejelekan yang dia dibuat karenanya”.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dia berkata : ” Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemukan pakaian beliau menamakannya dengan nama pakaian tersebut, apakah itu berupa gamis ataukah imamah kemudian mengucapkan : ” Ya Allah milikmulah segala pujian engkaulah yang memakaikan pakaian ini kepadaku, aku memohon kepadamu dari kebaikan pakaian ini dan kebaikan yang dia dibuat karenanya, dan aku berlindung kepadamu dari kejelekan pakaian ini dan kejelekan yang dia dibuat karenanya…al-hadits”[14].
b. “Segala puji bagi Allah yang telah memakaikan pakaian ini kepadaku dan yang telah merizkikannya kepadaku tanpa adanya usaha dariku dan tidak pula kekuatan”.
Dari Mu’adz bin Anas, beliau  : Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Barang siapa yang memakan makanan kemudian berkata : Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepadaku makanan ini dan memberikan rizki ini kepadaku tanpa adanya usaha dariku dan tanpa kekuatan, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu [dan yang akan datang] diampuni baginya, dan barang siapa yang memakai pakaian dan mengucapkan :Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pakaian ini kepadaku dan memberikan rizki ini kepadaku tanpa ada usaha dariku dan tanpa kekuatan, niscaya dosa-dosanya yang terdahulu dan [yang akan datang] diampuni baginya”[15].
Dan disunnahkan bagi orang yang memakai pakaian yang baru untuk mengucapkan :
a. “Pakailah yang baru, hidup mulialah, dan matilah dalam keadaan syahid”.
Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata : ” Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Umar mengenakan pakaian putih, maka beliau berkata : “ Pakaianmu ini apakah sudah dicuci ataukah baru ?” Umar berkata : Tidak, bahkan dia pakaian yang sudah dicuci[16].
Beliau berkata : “ Pakailah yang baru, dan hiduplah yang mulia dan matilah dalam keadaan syahid[17].
Dan perkataan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Pakailah yang baru” : bentuk perintah namun yang diinginkan dengannya adalah doa agar Allah berkenan memberikan kepadanya rizki berupa pakaian baru[18].
b. “Jikalau telah usang semoga Allah ta’ala menggantikannya”.
Ummu Khalid bintu Khalid bin Sa’id meriwayatkannya dan berkata : “Didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pakaian Khamishah yang berwarna hitam yang kecil. Beliau bersabda : “Siapa menurut kalian yang sesuai dengan pakaian ini ? “ Orang-orang yang ada semuanya terdiam. Beliau berkata : “ Datangkan kepadaku Ummu Khalid ”.  Maka didatangkan kepada beliau Ummu Khalid maka beliau mengambil kain khamishah tadi dan memakaikannya kepadanya dan bersabda : “ Kalaulah kain ini telah usang semoga Allah menggantikannya.”
Dan pada kain tersebut gambar berwarna hijau atau berwarna kuning, beliau berkata : wahai Ummu Khalid ini bagus, ini bagus (dalam bahasa Habasyah)”[19].
Abu Nadhrah berkata tentang hadits Abu Sa’id Al-Khudri –yang lalu- : Apabila salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai pakaian baru maka dikatakan kepadanya : Apabila telah usang semoga Allah ta’ala menggantikannya[20].
Faedah : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ummu Khalid dengan kunyahnya bukan dengan namanya, dalam hal ini adanya penjelasan tentang perhatian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak kecil dan baiknya kelembutan beliau kepada mereka. Memanggil anak kecil yang laki-laki maupun yang perempuan dengan kunyah sebagai pengganti nama mereka, memberi kesan bagi mereka akan adanya perhatian kepada mereka dan bahwa mereka juga memiliki derajat dan kedudukan sebagaimana orang besar. Barang siapa yang mencoba hal ini akan mengetahui hal tersebut.
Catatan penting: Wajib untuk merealisasikan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hal mendahulukan kanan, dan disini disunnahkan mendahulukan bagian kanan ketika memakai sesuatu dan mendahulukan kiri ketika melepas sesuatu.

13. Sunnahnya Memakai Pakaian Putih :

Masalah ini dit rangkan didalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ” Pakailah oleh kalian pakaian kalian yang putih karena pakian putih adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah pada kain putih itu jenazah-jenazah kalian…al-hadits”[21].
Dan dari jalan Samrah bin Jundab radhiallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pakailah dari pakaian kalian yang putih karena pakaian putih itu lebih suci dan lebih baik, dan kafanilah pada kain putih itu jenazah-jenazah kalian”[22].
Dan yang berlawanan dengan putih Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakai pakaian mu’ashfar – pakaian yang diberi pewarna kuning – dan pakaian yang dicelup dengan warna merah[23].
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash dia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat saya mengenakan dua pakaian yang mu’ashfar maka beliau berkata : sesungguhnya pakaian ini adalah pakaian orang kafir maka janganlah kamu memakainya” dan di dalam lafazh yang lain : Beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat saya mengenakan dua pakaian yang mu’ashfar. Maka beliau berkata : “Apakah ibumu yang memerintahkan kamu memakai pakaian ini?”
Saya berkata : Saya akan mencuci keduanya. Beliau berkata : “Bahkan bakarlah keduanya”[24].
Perkataan beliau : “Apakah ibumu yang memerintahkan kamu memakai baju ini?” maknanya bahwa pakaian ini termasuk pakaian wanita, seragam dan akhlak mereka, adapun perintah untuk membakar dikatakan bahwa hal itu adalah hukuman dan sikap keras dan teguran kepada Abdullah bin Amru bin Al-Ash dan juga kepada selainnya dari semisal perbuatan ini, sebagaimana An-Nawawi katakan[25].
Dan terkadang larangan memakai mu’ashfar dikarenakan adanya bentuk tasyabbuh (penyerupaan) kepada orang-orang kafir, dan hal ini lebih utama untuk dibawakan kepadanya dikarenakan hadits yang menerangkan tentang hal itu : “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir maka janganlah kamu memakainya”.
Masalah : Bagaimana menggabungkan antara larangan memakai pakaian yang dicelup dengan warna merah, dan dengan hadits yang shahih dalam riwayat Al-Bukhari dari hadits Al-Barra’ radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata : ” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dengan menyilangkan kaki beliau, dan saya melihat beliau memakai kain Hullah yang berwarna merah dan saya tidak pernah melihat sesuatu yang lebih bagus dari pakaian tersebut”[26] .
Jawab : Bahwa larangan tersebut berlaku bagi pakaian yang murni berwarna merah, adapun apabila pada pakaian tersebut terdapat gambar dari warna-warna lain maka hal itu tidak mengapa. Ibnu Hajar mengemukakan di dalam Al-Fath tujuh pendapat tentang hukum memakai pakaian berwarna merah, kami menyebutkan pendapat yang kami anggap mendekati kebenaran di dalam masalah ini –dan pendapat ini adalah pendapat yang kuat-.
Beliau berkata : “ Larangan dikhususkan pada pakaian yang dicelup seluruhnya, adapun yang ada padanya warna lainnya selain warna merah seperti putih, hitam dan selain keduanya maka tidak mengapa, maka berdasarkan pendapat ini, hadits-hadits yang menyebutkan kainhullah yang berwarna merah digiring kepada makna ini, karena kain hullah Yaman kebanyakannya memiliki garis-garis merah dan warna lainnya.
Ibnul Qayyim berkata : “ Sebagian ulama memakai pakaian yang dicelup warna merah dan menyangka bahwa hal itu mengikuti sunnah, ini adalah kekeliruan, karena kain hullah yang berwarna merah terbuat dari burdah Yaman dan kain burdah tidak dicelup dengan warna merah polos[27].
Bersambung ke Bagian iv : Bolehnya Memakai Cincin Bagi Laki-laki :

[1] HR. Al-Bukhari (5957) Muslim (2107) Ahmad (25559) dan Malik (1803).
[2] Syarh Muslim jilid ke tujuh (14/69).
[3] HR. Al-Bukhari (5952) Ahmad (23740) dan Abu Daud (4151).
[4] HR. Al-Bukhari (5954) dan lafazh hadits lafazh beliau, Muslim (2107), Ahmad (24197) An-Nasaa’i (761) dan Ibnu Majah (3653).
[5] Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah nomer (5611) (6/179) dan nomer (2615) (6/183).
[6] HR. Al-Bukhari (5854) Muslim (268) Ahmad (24106) At-Tirmidzi (608) An-Nasaa’i (421) Abu Daud (4140) dan Ibnu Majah (401).
[7] Syarah Shahih Muslim jilid kedua (3/131).
[8] HR. Al-Bukari (5856) Muslim (2097) Ahmad (7753) At-Tirmidzi (1779) Abu Daud (4139) Ibnu Majah (3616) dan Malik (1702).
[9] HR. Muslim (2098) Ahmad (9199) dan An-Nasaa’i (5369).
[10] HR. Al-Bukhari (5855) Muslim (2098) Ahmad (7302) At-Tirmidzi (1774) Abu Daud (4136) Ibnu Majah (3617) dan Malik (1701).
[11] Syarh shahih Muslim jilid 7 (14/62).
[12] Al-Albani berkata setelah membawakan sanadnya : hadits ini sanadnya shahih dan perawinya seluruhnya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipergunakan oleh As-Syaikhani selain Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi dan dia perawi yang tsiqah. Lihat As-Silsilahtus Ash-Shahihah dengan no. (348) (1/616-617).
[13] HR. Ahmad (23449) Abu Daud (4160) lafazh hadits lafazh beliau dan Al-Albani menshahihkannya.
[14] HR. At-Tirmidzi (1767) Abu Daud (4160) dan lafazh hadits lafazh beliau dan Al-Albani menshahihkannya.
[15] HR. Abu Daud (4023) dan lafazh hadits lafazh darinya, dan Al-Albani menghasankannya tanpa adanya tambahan [dan yang akan datang] pada dua tempat. Dan Ad-Darimi (2690).
[16] Al-Albani berkata : dan di dalam riwayat lain (baru). Shahih Ibnu Majah (3/188). Cet. Maktabah Al-Ma’arif. Ar-Riyadh cetakan pertama untuk cetakan yang baru 1417 H.
[17] HR. Ahmad (5588) Ibnu Majah (3558) dan lafazh hadits lafazhnya, dan Al-Albani menshahihkan dengan no. (2879).
[18] Lihat Syarah Sunan Ibnu Majah karya As-Sindi atas hadits ini (3558).
[19] HR. Al-Bukhari (5833) Ahmad (26517) dan Abu Daud (4023).
[20] HR. Abu Daud (4020) dan hadits ini penyempurna hadits Abu Sa’id Al-Khudri yang telah berlalu penyebutannya.
[21] HR. Ahmad (2220) Abu Daud (3061) Al-Albani berkata : “shahih”, Ibnu Majah (1472) dan At-Tirmidzi (994).
[22] HR. Ahmad (19599) An-Nasaa’i (5322) Al-Albani menshahihkannya dengan no. (4915), dan Ibnu Majah (35 67).
[23] Al-Mu’ashfar : kain yang dicelup dengan celupan warna kuning. Dan Ibnu Hajar berkata : kebanyakan dicelup dengan ashfar menjadi merah. (lihat Fathul Bari 10/318).
[24] HR. Muslim (2077) dan lafazh hadits ini lafazh beliau, Ahmad (6477) dan An-Nasaa’i (5316).
[25] Syarhu Muslim jilid ketujuh (14/45).
[26] HR. Al-Bukhari  (95901), Muslim (2337) Ahmad (1819) At-Tirmidzi (1724) An-Nasaa’i (5060) dan Abu Daud (4183).
[27] Fathul Bari (10/319). Saya katakan : dan berdasarkan pendapat ini maka (pakaian Asy-Syammagh merah) yang penduduk negeri Najed memakainya tidak termasuk di dalam larangan karena bukan merah yang dirubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar